CEGAH STUNTING SEDARI REMAJA

CEGAH STUNTING SEDARI REMAJA
Oleh: Abi Waqas, Program Studi Sarjana 1 Kesehatan Masyarakat, STIKes Respati Tasikmalaya

LATAR BELAKANG

Stunting adalah kondisi kegagalan pertumbuhan dan perkembangan yang disebabkan oleh kekurangan gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya asupan gizi, infeksi berulang, dan pola asuh yang tidak optimal (Archadi, 2020). Anak dikategorikan stunting jika tinggi badan menurut usia lebih rendah dari standar nasional yang berlaku (Rahman, Adhani, dan Triawanti, 2016).

Anak dengan tinggi badan yang kurang atau pendek seringkali berasal dari ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi. Ibu hamil dengan status gizi buruk berisiko lebih tinggi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Jika bayi BBLR tidak meninggal pada masa awal kehidupan, mereka akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat. Hal ini semakin diperburuk jika bayi tersebut mendapatkan ASI eksklusif yang kurang dan makanan pendamping ASI yang tidak memadai. Oleh karena itu, bayi BBLR cenderung tumbuh menjadi balita dengan status gizi buruk. Balita yang kekurangan gizi biasanya mengalami hambatan pertumbuhan, terutama jika konsumsi makanannya tidak mencukupi dan pola asuh tidak tepat (Mustika, Khairunnisa, dan Mardiati, 2022).

Balita yang kurang gizi ini berisiko tumbuh menjadi remaja dengan gangguan pertumbuhan dan produktivitas rendah. Jika kondisi ini berlanjut hingga dewasa, individu tersebut dapat mengalami stunting di usia dewasa, terutama pada perempuan yang berisiko melahirkan bayi BBLR lagi. Siklus ini dapat berulang terus-menerus (Dewi dan Adhi, 2014). Laporan Survei Status Gizi Indonesia Tahun 2021 menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia sebesar 24,4%, yang masih melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh WHO, yakni 20%. Target penurunan stunting pada tahun 2024 adalah sebesar 14%, yang berarti perlu ada penurunan prevalensi sebesar 10% dalam tiga tahun ke depan. Provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk dalam 12 provinsi prioritas percepatan penurunan stunting (DepKes, 2017). Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, prevalensi stunting di Nusa Tenggara Barat mencapai 31,3%. Oleh karena itu, remaja perlu mengambil peran aktif dalam pencegahan stunting (Swarinastiti, Hardaningsih, dan Pratiwi, 2018).

Kekurangan gizi pada balita dan anak tidak hanya dipengaruhi oleh gizi ibu selama kehamilan, tetapi juga dimulai sejak masa remaja (Fuada et al., 2014). Remaja perlu belajar dan menerapkan pola hidup sehat, termasuk konsumsi makanan yang bergizi. Kebiasaan-kebiasaan buruk di kalangan remaja, seperti diet ketat, melewatkan waktu makan, malas bergerak, merokok, dan mengonsumsi makanan cepat saji yang rendah nutrisi, tentu akan memengaruhi kesehatan mereka (Maleke et al., 2015).


PEMBAHASAN

Usia remaja merupakan masa peralihan dari anak menuju dewasa. Pada usia ini, terjadi berbagai perubahan biologis, sosial, dan psikologis. Remaja merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah gizi. Permasalahan gizi pada remaja perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mereka serta berdampak pada kesehatan saat dewasa. Oleh karena itu, penting untuk memberikan perhatian pada 8000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), termasuk pada remaja, untuk memastikan kelahiran generasi yang lebih baik dan bebas dari stunting (Natanael S., et al., 2022).

Pada masa remaja, kepribadian mulai berkembang dan kesadaran tentang kesehatan tubuh serta identitas diri mulai muncul. Pada tahap ini, remaja mulai menemukan jati dirinya (Pramesti, TA, et al., 2022).


PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA PUTRI TENTANG KONSUMSI TABLET TAMBAH DARAH SEBAGAI PENCEGAHAN STUNTING

Pengetahuan tentang gizi yang memadai dapat dimulai sejak masa remaja dan sangat penting untuk persiapan masa prakonsepsi (Widaryati, R., et al., 2021). Edukasi yang tepat sangat dibutuhkan untuk meningkatkan persepsi positif remaja tentang pentingnya pencegahan anemia, yang berhubungan langsung dengan pencegahan stunting. Pemberian pengetahuan yang memadai diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku remaja dalam menjaga kesehatan mereka (Pramesti, TA., 2022).

Pengetahuan dan Sikap Konsumsi Tablet Tambah Darah sebagai Pencegahan Stunting Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendidikan adalah proses yang mengembangkan kemampuan melalui pengetahuan, dan semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula tingkat pengetahuan seseorang (Nasution, IPA & Manik, BSIG, 2020). Selain itu, informasi juga dapat diperoleh melalui media massa seperti televisi, majalah, dan radio, yang memperluas wawasan masyarakat (Nuzrina, R., et al., 2021).

Sejalan dengan penelitian Ratnawati, AE, & Safitri, D. (2022), mayoritas responden dalam penelitian tersebut memiliki pengetahuan yang baik, terutama karena adanya penyuluhan kesehatan reproduksi di sekolah. Hal ini mendukung peningkatan kepatuhan dalam mengonsumsi tablet tambah darah. Informasi yang diperoleh dari pendidikan formal dan non-formal, serta kemajuan teknologi yang mempermudah akses media massa, turut berperan dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat.

Pengetahuan, Sikap, dan Kepatuhan dalam Mengonsumsi Tablet Tambah Darah

Pengetahuan merupakan faktor predisposisi (predisposing factor) yang mempengaruhi perilaku seseorang sebelum dan selama melakukan suatu tindakan (Murti, 2018). Penelitian oleh Nasution, IPA & Manik, BSIG (2020) menunjukkan bahwa remaja dengan pengetahuan yang baik cenderung memiliki sikap yang positif terhadap konsumsi tablet tambah darah. Sikap ini sangat penting dalam meningkatkan kepatuhan remaja putri dalam mengonsumsi tablet Fe.

Sikap juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman pribadi, pengaruh orang lain, kebudayaan, dan media massa (Nuzrina, R., et al., 2021). Penelitian Risva et al. (2016) mengungkapkan bahwa remaja dengan sikap yang baik memiliki kemungkinan 2,2 kali lebih besar untuk mengonsumsi tablet tambah darah secara rutin dibandingkan yang memiliki sikap buruk. Hal ini menunjukkan bahwa sikap positif sangat berpengaruh terhadap perilaku remaja dalam pencegahan stunting.

Keberhasilan dalam mengonsumsi tablet tambah darah juga memerlukan pemahaman yang tepat tentang anjuran pemerintah, yaitu mengonsumsi satu tablet per minggu. Selain itu, pengawasan dari orang tua, guru, dan teman sebaya juga penting untuk mendukung kepatuhan remaja putri dalam mengonsumsi tablet tambah darah (Simbolon, D., et al., 2022).


KESIMPULAN

Pencegahan stunting sejak masa remaja merupakan langkah penting untuk membangun generasi penerus yang sehat dan berkualitas. Masa remaja adalah periode kritis dalam pertumbuhan dan perkembangan, di mana pola hidup sehat dapat memberikan fondasi yang kuat untuk masa dewasa, termasuk kesuburan dan kesehatan anak di kemudian hari. Remaja perlu meningkatkan pengetahuan dan sikap positifnya mengenai pentingnya konsumsi tablet tambah darah (Fe) sebagai pencegahan stunting di generasi berikutnya. Penelitian selanjutnya dapat menggali lebih dalam mengenai kepatuhan remaja dalam mengonsumsi tablet Fe. Orang tua dan guru juga perlu mengawasi konsumsi tablet Fe oleh remaja putri untuk memastikan keberhasilan pencegahan stunting.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Lestari, C. I., Pamungkas, C. E., WD, S. M., Amilia, R., Adiputri, N. W. A., Arieska, R., ... & Cahyaningtyas, D. K. (2023). GERAKAN CEGAH STUNTING SEJAK DINI (GENCAT SENI) GUNA MENURUNKAN ANGKA STUNTING. SELAPARANG: Jurnal Pengabdian Masyarakat Berkemajuan, 7(3), 2049-2052.
  2. Rizkiana, E. (2022). Pengetahuan dan sikap remaja putri terhadap konsumsi tablet tambah darah (TTD) sebagai pencegahan stunting. Jurnal Ilmu Kebidanan, 9(1), 24-29.