STUNTING DAN WASTING PADA BALITA

Prevalensi Stunting dan Wasting di Indonesia

       Stunting atau pendek merupakan sebuah kondisi kegagalan pertumbuhan balita yang terjadi secara kronis, artinya stunting terjadi akibat adanya gangguan asupan nutrisi yang berlangsung dalam jangka waktu lama. Stunting merupakan masalah kesehatan pada anak yang sedang dihadapi beberapa negera berkembang salah satunya Indonesia. Pada tahun 2020 sebanyak 149,2 juta anak balita di seluruh dunia mengalami stunting. Data WHO menunjukkan pada tahun 2022 sebanyak 148,1 juta anak dibawah lima tahun atau 22,3 persen dari seluruh anak di dunia mengalami stunting1.  Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2023 mengalami penurunan 0,1 persen menjadi 21,5% dari tahun sebelumnya yaitu 21,6%. Realisasi penurunan stunting masih jauh dari target yang ditetapkan oleh Presiden RI untuk tahun 2024 yaitu sebesar 14%2. 

       Wasting atau kurus merupakan sebuah kondisi kegagalan pertumbuhan balita yang terjadi secara akut. Prevalensi balita wasting pada tahun 2021 sebesar 7,1%, pada tahun 2022 sebesar 7,7% dan pada tahun 2023 menjadi 8,5%, dapat disimpulkan prevalensi wasting terus mengalami kenaikan2. Balita yang mengalami wasting berisiko lebih tinggi mengalami stunting dibandingkan dengan balita dengan status gizi baik. Itu artinya, jika balita wasting terus bertambah maka akan lebih banyak balita yang berisiko mengalami stunting di kemudian3.

 

Sumber gambar: https://media.suara.com/pictures/970x544/2020/01/02/34249-ilustrasi-stunting.jpg

Apa bedanya stunting dan wasting pada balita?

       Stunting merupakan sebuah kondisi pertumbuhan anak terhambat, yang ditandai dengan panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) lebih rendah dari standar untuk umur mereka. Apabila dilakukan plot pada grafik pertumbuhan maka PB/U atau TB/U anak berada dibawah -2 SD (Standar Deviasi). Sedangkan wasting merupakan kondisi kegagalan pertumbuhan anak yang ditandai dengan BB yang signifikan dibandingkan dengan PB atau TB, sehingga anak terlihat kurus. Apabila dilakukan plot pada grafik pertumbuhan maka BB/PB atau BB/TB anak berada dibawah -2 SD 4.

Bagaimana ciri-ciri anak stunting dan wasting?

       Stunting pada anak dapat dikenali melalui ciri-ciri sebagai berikut; memiliki badan lebih pendek jika dibandingkan dengan anak seusianya, proporsi tubuh cenderung normal, namun anak terlihat lebih kecil untuk usianya5. Sedangkan wasting memiliki ciri-ciri; tubuh anak tampak sangat kurus, dengan tulang-tulang yang terlihat menonjol, proporsi tubuh tidak ideal, dimana berat badan jauh lebih rendah dibandingkan tinggi badan.

 

Sumber gambar: https://yankes.kemkes.go.id/img/bg-img/gambarartikel_1665640650_44931.jpg

Apakah ada hubungan antara stunting dan wasting?

       Anak-anak yang mengalami wasting memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami stunting di kemudian hari, karena masalah pada penambahan berat badan anak jika terjadi secara berulang maka akan berdampak terhadap pertumbuhan linier (panjang padan/tinggi badan). Anak balita yang mengalami wasting memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita infeksi, gangguan fisik dan kognitif, dan bahkan kematian dalam kasus yang paling parah. Anak-anak yang mengalami wasting namun tidak mendapatkan perawatan yang memadai cenderung memiliki risiko tiga kali lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki gizi baik. Jika anak mengalami wasting dan stunting secara bersamaan, maka risiko kematian akan meningkat6.

Apa penyebab stunting dan wasting?

Stunting disebabkan oleh kekurangan gizi yang berlangsung dalam jangka panjang yaitu pada seribu hari pertama kehidupan, pemberian makanan yang tidak adekuat dan faktor lingkungan seperti sanitasi yang  buruk serta terjadinya penyakit infeksi yang berulang7. Sedangkan wasting seringkali disebabkan oleh malnutrisi yang terjadi secara akut akibat asupan makanan yang tidak mencukupi, selain itu terjadinya penyakit infeksi pada anak juga dapat mengganggu nafsu makan dan penyerapan nutrisi. Malnutrisi disebabkan karena bayi tidak mendapatkan ASI secara eksklusif dan makanan pendamping ASI tidak cukup. Penyakit infeksi dapat disebabkan karena, anak tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap, jika balita sakit tidak segera ditangani, ibu tidak menerapkan pola hidup bersih dan sehat, serta lingkungan rumah kotor. 

Apa dampak terjadinya stunting dan wasting pada balita?

Dampak buruk stunting yang dapat terjadi pada jangka pendek yaitu bertambahnya morbiditas dan mortalitas, gangguan perkembangan, meningkatknya beban perawatan dan pengobatan. Sedangkan dampak buruk jangka panjang dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan reproduksi, konsentrasi belajar, dan produktivitas kerja menurun sehingga akan berdampak terhadap masa depan anak7.

Dampak dari terjadinya wasting pada anak, diantaranya: kekebalan tubuh anak rendah sehingga gampang terkena penyakit infeksi, gangguan pertumbuhan fisik (anak wasting berisiko 3 kali menjadi stunting), gangguan perkembangan otak yang dapat mempengaruhi kemampuan belajar dan produktivitas kerja saat dewasa sehinggan dapat menyebabkan timbulnya potensi kerugian ekonomi8 . Risiko menderita penyakit tidak menular saat usia dewasa, risiko kematian tinggi, khususnya anak gizi buruk berisiko 12 kali untuk meninggal.

Bagaimana Pencegahan stunting dan wasting pada anak balita

Pemenuhan gizi seimbang pada periode seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah stunting pada balita. Seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) adalah fase kehidupan yang dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan (270 hari) sampai berusia 2 tahun (730 hari). Periode ini merupakan periode emas, dimana jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan terjadi kerusakan yang bersifat permanen. Fokus penanganan masalah gizi pada 1000 HPK adalah menurunnya proporsi anak balita pendek (stunted), anak balita kurus (Wasted), anak yang lahir dengan berat badan rendah dan gizi lebih pada anak, menurunkan proporsi anemia dan kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur dan meningkatkan presentase ASI eksklusif. Penentu keberhasilan 1000 HPK tidak hanya dimulai saat sedang hamil, namun dimulai sejak masa pra konsepsi, konsepsi dan kehidupan anak paska lahir9. 

Penyebab stunting bersifat multifaktor, sehinggan intervensinya pun harus fokus pada faktor penyebab langsung dan faktor penyebab tidak langsung. Intervensi stunting dapat dibagi kedalam dua jenis, yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif. 

Intervensi spesifik adalah kegiatan yang ditujukan untuk mengatasi penyebab langsung terjadinya stunting, meliputi10:

1. Asupan makanan

a. Memberikan tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan.

b. Menggunakan makanan tambahan untuk meningkatkan energi pada ibu hamil KEK (Kurang Energio kronis).

c. Memberikan ASI eksklusif pada bayi umur 0-6 bulan

d. Menggunakan makanan tambahan untuk meningkatkan status gizi pada balita gizi kurang

2. Pencegahan Infeksi

a. Menyediakan vaksinasi dasar lengkap dan vitamin A untuk bayi dan balita

b. Melakukan skrining anemia dan pemeriksaan kehamilan (ANC)

3. Status Gizi Ibu

a. Memastikan status gizi ibu hamil optimal melalui pemeriksaan rutin

b. Memberikan dukungan nutrisi tambahan jika diperlukan

Intervensi sensitif adalah intervensi yang berfokus pada faktor-faktor yang menyebabkan stunting secara tidak langsung, yang sering kali berada di luar kontrol sektor kesehatan. Contoh intervensi sensistif, meliputi8:

1. Peningkatan sanitasi dan akses air bersih; memastikan bahwa masyarakat memiliki akses ke air bersih dan sanitasi yang baik untuk mencegah infeksi

2. Pemberdayaan ekonomi; mengatasi kemiskinan melalui program bantuan sosial dan peningkatan akses pangan bergizi

3. Pendidikan keluarga; meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pola asuh yang baik dan pentingnya gizi seimbang.


Referensi:

1. Anton, S. S., Dewi, N. M. U. K., & Adiba, I. G. (2023). Kajian Determinan Stunting Pada Anak di Indonesia. Jurnal Yoga dan Kesehatan, 6(2), 201-217.

2. Kemenkes. 2023. Status Gizi Pada Anak Di Bawah Lima Tahun (Balita) Stunting, Underweight, Wasting, dan Overweight. Diambil dari laman https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/daftar-frequently-asked-question-seputar-hasil-utama-ski-2023/hasil-utama-ski-2023/ 

3. Harsono, F., haryanti. 2024. Membentengi Anak dari Stunting. Mediakom. https://kemkes.go.id/app_asset/file_content_download/172241330366a9f0f7cfb354.27666859.pdf 

4. Menkes  RI. (2020). Peraturan menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020. Kemenkes RI. 

5. Hindratni, F., Sartika, Y., & Sari, S. I. P. (2021). Modul Kebidanan Peran Posyandu dalam Pencegahan Stunting.

6. Deswinta, D. P., & Prasetyo, A. (2024). Analisis Prevalensi Kasus Balita Wasting di Kawasan Timur Indonesia Tahun 2022 dengan Pendekatan Spasial. GIZI INDONESIA, 47(2), 185-194.

7. Wardita, Y., Suprayitno, E., & Kurniyati, E. M. (2021). Determinan Kejadian Stunting pada Balita. Journal Of Health Science (Jurnal Ilmu Kesehatan), 6(1), 7-12.

8. Renyoet, B. S., & Nai, H. M. E. (2019). Estimasi potensi kerugian ekonomi akibat wasting pada balita di indonesia. Jurnal Gizi Indonesia (The Indonesian Journal of Nutrition), 7(2), 127-132.

9. Lestari, E., Shaluhiyah, Z., & Adi, M. S. (2023). Intervensi pencegahan stunting pada masa prakonsepsi: Literature review. Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia (MPPKI), 6(2), 214-221.

10. Intervensi. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230623/1543354/11-intervensi-spesifik-atasi-stunting-telah-dilaksanakan-di-daerah-2-di-antaranya-melebihi-target/